Di Kursi Penumpang, Bersama Piala

Sejak 15 tahun lalu, saya selalu ingin menceritakan momen-momen ketika menjadi Anak Angin. Rasa-rasanya prestisius sekali kalau satu dua tulisan bisa dibaca oleh Anak Angin dari generasi ke generasi. Apalagi kalau disimak oleh alumni Angin yang sudah sukses menapaki kerasnya hidup dan lahir sebagai jurnalis sukses, penulis sukses, abdi negara sukses, ibu rumah tangga sukses, bapak rumah tangga sukses dan sukses-sukses lainnya.

Namun, saking banyaknya cerita yang ingin saya ungkapkan, saya malah bingung memilih mana cerita yang akan menjadi masterpiece yang mengguncang mastermind, hahaha.

Jadi biar ada aja yang tak upload-wkwkw- maka saya pilihlah satu cerita bombastis yang jadi golden achievement masa SMA saya yang indah, cerah, terang terbentang sejauh mata memandang.

Singkat cerita, anak-anak Angin menjadi peserta lomba musikalisasi dan dramatisasi puisi yang diadakan oleh satu komunitas di ujung Barat Bali. Dengan segenap amunisi hasil latihan dan dispensasi berhari-hari, kami berangkat penuh percaya diri. Tiga generasi Angin siap mengguncang bumi Negara kala itu, hehe.

Kami datang dengan penuh suka cita dengan menyewa bis bertenaga kuda.

Satu demi satu kelompok menampilkan performa terbaiknya. Panggung gegap gempita dengan penampilan-penampilan Angin kala itu. Rasa bangga kami tumpah ruah di dada.

Satu momen ketika lampu sorot menyilaukan mata, kesunyian yang singkat, dada berdebar, lalu suara musik mengalun, puisi dinyanyikan, dan satu momen ketika saya melihat mata setiap penonton tertuju pada kami, dan dengan musik kami membawa mereka semua ke dunia kami.

Saat ini pun ketika saya menulis cerita ini, ketika hampir 20 tahun berlalu sejak kejadian itu, kerinduan untuk berdiri di panggung, berpuisi, bermusik. Tersorot lampu, dan menjadi satu-satunya cahaya di kegelapan ruangan, terus membesar, hehe.

Usai lomba, teman-teman lainnya kembali pulang ke denpasar. Hanya kami bertujuh (saya lupa siapa saja waktu itu), yang masih tinggal di Bumi Mekepung untuk menunggu pengumuman keesokan harinya. Setelah dua hari tinggal berdesak-desakan dan antri kamar mandi, akhirnya kami menumpang di salah satu rumah kawan kami. Saya mandi sepuasnya, lalu menikmati merebahkan tubuh di kasur.

Setelah waktu pengumuman tiba, kami datang ke lokasi acara.

Jujurly, waktu itu kami sangat menikmati menjadi pusat perhatian, seakan-akan ada isyarat alam yang mengatakan, ne be kel nyemak konyang pialane (ini dah yang akan memboyong semua piala). Benar saja, dari 2 lomba dengan 9 kriteria juara, kami memboyong kalau tidak salah enam atau tujuh piala (saya lupa ini tepatnya berapa wkwkwk).

Pada perjalanan kembali ke Denpasar, mobil yang kami bertujuh tumpangi penuh sesak dengan piala. Saya yang duduk berdua di kursi belakang juga mesti memberi ruang pada piala-piala, yang waktu itu ketika mobil melewati jalan rusak, suara piala bertubrukan kok nyaring sekali, hahaha

Yah begitulah. Itu salah satu momen indah masa SMA yang begitu menakjubkan untuk dikenang dan lebih menakjubkan untuk diceritakan… haha…


Response

  1. kadek Avatar
    kadek

    teaterangin.com dengan senang hati menunggu cerita-cerita berikutnya. Gpp yang bukan masterpiece, tetap yakin akan mengguncang mastermind kok.

    Like

Leave a comment